Redam Amarah dengan Mencari dan Mengenali Penyebabnya

Minggu, 03 Maret 2019 - 08:21 WIB
Redam Amarah dengan Mencari dan Mengenali Penyebabnya
Redam Amarah dengan Mencari dan Mengenali Penyebabnya
A A A
Luapan emosi atau amarah seseorang memang penting untuk disalurkan. Salah satunya melalui anger room. Di Jakarta, Temper Clinic menyediakan anger room untuk pelampiasan amarah. Namun apakah cara ini efektif? Pendiri Temper Clinic Masagus Yusuf Albar mengaku konsep anger room miliknya mengadopsi hal serupa di Yunani. Masagus mengatakan, Temper Clinic memang menyediakan barang pecah belah dan elektronik untuk dipecahkan “pasien” yang ingin melampiaskan amarahnya.

Namun itu tidak dapat disebut 100% sebagai tempat pelampiasan emosi. Psikolog Ayoe Sutomo mengatakan, kegiatan seperti di Temper Clinic hanya dapat dilakukan untuk meredakan emosi seseorang dalam waktu sesaat saja. Menurutnya, tidak semua amarah harus dilampiaskan dengan menghancurkan barang-barang meskipun sebenarnya amarah merupakan bagian dari emosi yang harus disalurkan.

“Harus disalurkan dengan efektif, yakni dengan tidak merugikan diri kita, orang lain serta tidak menimbulkan permasalahan baru. Jika kita memiliki amarah, jangan lupa untuk dapat mengubah penyebab kemarahan kita tersebut,” tutur Ayoe. Ayoe mengatakan, tidak ada cara paling benar untuk melampiaskan amarah karena setiap individu memiliki sifat yang berbeda-beda.

Ada yang ketika emosi malah diam, menangis, ataupun harus teriak kencang. Semua itu tentunya tergantung kepada individu masing-masing dalam mengekspresikan emosinya dengan nyaman. Menurutnya, tidak ada yang paling efektif dalam penyaluran amarah ini. “Yang paling penting dari itu semua, ketika kita marah dapat langsung mengenali apa yang jadi sumber marah kita, kemudian mencari solusi atas permasalahan itu,” kata Ayoe.

Dengan demikian, menurut Ayoe, seseorang yang marah tidak hanya fokus pada pelampiasan, tapi juga pada tahap solusi persoalan. Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto menuturkan, memang ada banyak cara serta mekanisme penyaluran konflik agar tidak eksplosif. Salah satunya menyalurkan emosi itu dengan cara memukul barang maupun benda mati. “Namun cara seperti itu juga dilematis. Sebab jika tidak hati-hati bisa mendorong akumulasi kekerasan yang terjadi pada jiwa seseorang,” ujar Bagong kemarin.

Ia melanjutkan, cara seperti itu menunjukkan kurangnya jalur pelepasan emosi. Kondisi yang dialami para warga di sebuah kota maju memberikan dampak yang cukup signifikan dalam melepas emosi. “Jadi sebaiknya untuk melepas emosi itu disalurkan melalui olahraga atau aktivitas positif lainnya,” ucapnya.

Bagong juga menjelaskan, kalau terus menumpuk aksi kekerasan, hal itu bukan menjadi solusi. Cara itu malah bisa mengesahkan aksi kekerasan. “Karena kekerasan nantinya bisa terakumulasi,” sebutnya. Tingkat risiko kekerasan di kota besar memang cukup tinggi. Semua itu tak lepas dari banyaknya budaya baru yang masuk dan diserap oleh masyarakat.

Karena itu lingkungan serta jalinan pertemanan harus bisa dijaga dengan baik. Naluri kekerasan yang diawali dengan gagalnya menjaga emosi kerap merugikan banyak orang. Makanya langkah yang tepat untuk meluapkan emosi menjadi penentu keberhasilan seseorang.

Psikolog klinis dewasa International Wellbeing Center, Jakarta, Anna Dauhan menjelaskan, ada seseorang yang lebih reaktif atau temperamental, tetapi ada juga yang lebih lambat reaksinya atau tidak sensitif. Biasanya, lanjut Anna, semakin lama seseorang memendam kekesalan, semakin besar pula ledakan amarahnya jika terpicu hal yang sepele.

“Emosi marah biasanya juga dipicu oleh perasaan bahwa ini tidak adil bagi diri kita, apa pun penyebabnya. Merasa dihina atau tidak dihargai atau perasaan bahwa batasan kita dilanggar oleh orang lain tanpa izin kita (misalnya),” ujar Anna kepada KORAN SINDO.

Emosi dapat membuat seseorang menjadi frustrasi, putus asa hingga tidak dapat mengontrol amarahnya. Emosi dapat diungkapkan dengan berbagai cara, tetapi bila tidak dapat mengontrol sepenuhnya seseorang dapat melakukan sesuatu yang bersifat destruktif dan merugikan lingkungan sekitarnya.

Anna mengungkapkan, cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan kenali penyebab dan pemicunya. Dengan begitu dapat diketahui, apakah pemicu tersebut sebenarnya hanya stimulus yang memancing masalah menjadi lebih besar dari masalah sebelumnya yang belum terselesaikan.

Bila hal itu terjadi, seseorang harus segera menyelesaikan masalah tersebut melalui berbagai cara, salah satunya mencoba mengungkapkannya kepada orang terdekat. Masukan dari orang kepercayaan sangat baik untuk mendapatkan sisi positif dan menjadi jalan keluar.

Anna mengungkapkan, jika seseorang mampu mengenali hal apa yang memicu kemarahan, dia juga dapat membuat penilaian cepat mengenai bagaimana cara mengekspresikan kemarahan. Selain itu bila seseorang dalam kondisi netral, biasanya kemampuan mengelola emosi juga akan lebih baik.

Dokter kejiwaan RS Evasari Awal Bros, Citra Fitri Agustina, mengatakan, jika seseorang merasa memiliki emosi berlebih dan sulit mengendalikan amarah serta gangguan psikologis lainnya, dapat segera dilakukan pengecekan kepada psikolog atau dokter kejiwaan agar dapat segera ditangani. Citra menegaskan, jika menyangkut perasaan, sudah pasti hal itu juga berhubungan dengan kejiwaan.

Selain faktor kepribadian dan keluarga atau keturunan, faktor lingkungan juga turut andil dalam pembentukan emosi. “Zaman sekarang di era akses teknologi mulai meluas, jadi akhirnya orang banyak meniru perilaku orang lain di media sosial, termasuk informasi yang belum tentu kebenarannya. Hal yang terjadi malah memancing kemarahan serta kecemasan, itu juga bisa membuat emosi terpengaruh,” tutur Citra
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3068 seconds (0.1#10.140)